Wednesday, January 11, 2012

Pelangi



Saat ini aku sedang menatap kotak asongan yang biasa aku isi dengan barang dagangan. Entah keajaiban apa yang ku dapatkan, kini barang daganganku habis terjual. Yah, walaupun masih ada tiga bungkus rokok yang tersisa. Akhirnya hari ini aku bisa membelikan adikku nasi bungkus, bukan nasi sisa yang biasa aku kumpulkan dari warung-warung nasi dan kemudian aku berikan kepadanya. Sementara itu aku harus menunggunya makan, dan apabila nasi itu belum habis, aku baru mulai mengisi perutku yang hampir setiap waktu kosong. Saat ini aku merasa sangat bersyukur.
Setelah lama duduk di pinggir jalan menghitung jumlah uang yang ku dapatkan, aku bergegas menuju warung nasi di ujung jalan. Tertera tulisan warung makan sederhana pada rumah makan itu. Sekali lagi aku melirik uang yang ada didalam kantongku. Karena jumlah uang yang terbatas, akupun memutuskan untuk menuju ke warung tegal di sebelah rumah makan itu. Aroma makanan di warteg itu tidak kalah sedapnya dengan rumah makan besar yang ada di sebelahnya. Disana aku memesan sebungkus nasi dengan telur dadar dan tahu.
            Setelah membayar nasi itu dengan beberapa lembar uang seribuan, aku berjalan menyusuri jalan raya untuk kembali ke rumah.
“Kok mbak Rini sudah pulang?” tanya adik semata wayangku.
“Iya, barang dagangan mbak sudah habis. Ini mbak punya nasi bungkus untuk Sari,” jawabku.
“Nasi bungkus? Wah, aku mau makan,” sahut Sari riang seraya mengambil bungkusan nasi dari genggamanku. Sorot mata polosnya membuatku malu karena belum bisa memberikan segala sesuatu yang terbaik untuknya.
“Mbak, emak kemana ya kok sampai sekarang belum pulang?” tanya Sari sambil melahap makanannya.
“Mungkin emak sekarang lagi kerja di Jakarta, mau mencari uang yang banyak supaya bulan depan Sari bisa sekolah,” jawabku risau. Karena sebenarnya sampai saat ini aku tidak tahu kemana emak pergi semenjak bapak meninggal. Hampir saja aku meneteskan air mata didepan adikku.

****
Cuaca pagi ini tidak sebaik biasanya. Sinar mentari yang seharusnya panas menyengat, digantikan dengan hawa dingin menusuk kulit. Langit gelapnya menutupi keperkasaan sang raja siang. Perutku berbunyi nyaring. Saat ini aku sama sekali tidak mempunyai uang. Aku menatap  adikku yang masih tertidur pulas yang beralaskan Koran bekas. Untung aku masih mempunyai tempat tinggal, walaupun hanya terbuat dari bambu. Paling tidak aku dan adikku tidak kehujanan dan kepanasan. Aku harus bekerja dan mencari makanan untuk Sari agar saat nanti ketika dia terbangun, dia tidak kelaparan.
“Sari, mbak jualan dulu ya. Doakan mbak supaya barang dagangannya laris,” bisikku di telinganya.
Aku berjalan menyusuri ruko-ruko yang masih tutup, berharap barang asonganku ini habis terjual. Sepertinya pada pagi hari ini orang-orang masih tertidur lelap di kasur empuk mereka. Jalanan yang ku lewati tampak lengang.Terminal yang ku tuju pun tampak sepi. Bis-bis masih banyak yang kosong. Aku duduk di telotoar terminal, berusaha menghilangkan penat setelah berjalan cukup jauh dari rumah ke terminal seraya menunggu pembeli.
“Permen, tissunya mas. Rokok juga ada,” teriakku ketika seorang lelaki lewat didepanku.
“Rini, kamu tidak sekolah?” tanya pak Toto menghampiriku. Dia adalah supir bis yang setiap hari mengizinkanku untuk berjualan di bisnya.
“Tidak pak. Kan saya sudah berhenti sekolah dari minggu lalu.”
“Kenapa?”
“Tidak ada biayanya pak.”
“Emakmu sudah pulang?”
“Belum. Saya tak tahu emak akan pulang atau tidak.”
“Ini ada sedikit makanan buat mu dan adikmu. Sana pulang antarkan ke adikmu.”
“Wah, terima kasih banyak pak.”
Akupun berlari menuju rumah mengantarkan tiga potong pisang goreng dan dua bungkus roti. Laju lariku tidak terlalu cepat karena barang daganganku harus aku jaga agar susunannya tidak berantakan. Aku berlari menembus rintik hujan yang turun serta angin dingin yang menusuk. Akhirnya pagi ini aku mendapatkan makanan untuk adikku. Aku tidak mau jika Sari lapar. Lebih baik aku puasa terus menerus asal adik kecilku yang baru berumur 6 tahun itu tidak kelaparan. Hanya dia yang aku miliki di dunia yang keras ini.
Saat aku berlari di pinggir jalan raya, sebuah mobil menyerempetku sampai terjatuh. Aku melepaskan pisang goreng dan roti dari genggamanku. Aku jatuh ke kubangan air. Barang daganganku pun ikut basah. Aku masih belum bisa percaya terhadap semua yang aku alami. Aku menjatuhkan makanan untuk adikku dan barang daganganku basah. Dengan serta merta aku berteriak murka kepada orang yang telah menyerempetku. Namun mobil itu malah berjalan terus tanpa memperdulikanku. Aku memaki diriku sendiri yang begitu bodoh bisa melepaskan makanan untuk adikku. Kehidupan ini memang tidak cukup adil bagiku. Namun aku masih merasa bersyukur karena paling tidak aku tidak hidup sendiri. Tapi kini apa yang terjadi? Ternyata kehidupan ini memang benar-benar tidak adil. Aku sudah ditakdirkan miskin dari kecil, namun mengapa harus banyak kekecewaan lain lagi yang harus aku dapatkan.
Aku menatap barang daganganku yang basah dan pisang goreng beserta roti yang terendam dalam genangan air. Aku ingin berteriak merobek jiwa orang yang telah menyerempetku. Aku ingin hidup layak, bukan seperti ini. Aku ingin adikku makan! Tapi apa daya, aku hanya terpaku melihat barang-barang tak berguna didepanku. Aku hanya bisa menangisi takdir yang sulit untuk ku ubah. Lelehan pilu membasahi pipiku bersama dengan hujan. Mungkin kesuraman hidupku akan segelap awan yang tidak mengizinkan mentari menerobosnya.
Aku mengambil barang daganganku yang basah kuyub. Kemudian berjalan gontai menuju rumah. Perih rasanya jika nanti harus melihat adikku yang kelaparan sama seperti aku. Aku berusaha kuat, dan bagaimanapun caranya aku harus mendapatkan makanan untuk adikku. Sesampainya didepan rumah, aku melihat pintu rumah telah terbuka. Mungkin Sari telah bangun dan sekarang sedang meringik kelaparan karena semalam dia tidak makan. Dengan perlahan aku menuju rumah. Saat aku berada di ambang pintu, aku melihat seoranng perempuan dengan pakaian rapih sedang memeluk Sari. Aku masuk perlahan dan perempuan itupun menoleh. Aku tak menyangka ternyata dia adalah emak. Perasaan yang bercampur aduk menyelimutiku. Sudah dua bulan dia membiarkan aku dan Sari terlantar mencari makan sendiri. Tapi aku rindu akan sosok seorang ibu yang biasa mengurusku.
Tangisan emak pecah dan dengan segera memeluk serta meminta maaf kepadaku. Ternyata benar seperti apa yang aku sampaikan kepada Sari bahwa emak selama ini bekerja di Jakarta mencari uang untuk kami. Aku tak tahu harus berbuat apa. Perasaanku kacau, sehingga air mataku ikut mengalir dengan deras. Hanya satu yang bisa ku pikirkan, semoga tangisan ini adalah tangisan terakhir yang dapat menghentikan segala kesedihan. Sama seperti hujan yang turun dengan deras dan diiringi sambaran petir, namun kemudian munculah tujuh spectrum warna pelangi yang indah menghapus segala duka. 
         

No comments:

Post a Comment