Saat ini aku sedang menatap kotak asongan yang biasa
aku isi dengan barang dagangan. Entah keajaiban apa yang ku dapatkan, kini
barang daganganku habis terjual. Yah, walaupun masih ada tiga bungkus rokok
yang tersisa. Akhirnya hari ini aku bisa membelikan adikku nasi bungkus, bukan
nasi sisa yang biasa aku kumpulkan dari warung-warung nasi dan kemudian aku
berikan kepadanya. Sementara itu aku harus menunggunya makan, dan apabila nasi
itu belum habis, aku baru mulai mengisi perutku yang hampir setiap waktu kosong.
Saat ini aku merasa sangat bersyukur.
Setelah lama duduk di pinggir jalan menghitung jumlah
uang yang ku dapatkan, aku bergegas menuju warung nasi di ujung jalan. Tertera
tulisan warung makan sederhana pada rumah makan itu. Sekali lagi aku melirik
uang yang ada didalam kantongku. Karena jumlah uang yang terbatas, akupun
memutuskan untuk menuju ke warung tegal di sebelah rumah makan itu. Aroma
makanan di warteg itu tidak kalah sedapnya dengan rumah makan besar yang ada di
sebelahnya. Disana aku memesan sebungkus nasi dengan telur dadar dan tahu.
Setelah membayar nasi itu dengan
beberapa lembar uang seribuan, aku berjalan menyusuri jalan raya untuk kembali
ke rumah.
“Kok mbak Rini sudah pulang?” tanya adik semata
wayangku.
“Iya, barang dagangan mbak sudah habis. Ini mbak punya
nasi bungkus untuk Sari,” jawabku.
“Nasi bungkus? Wah, aku mau makan,” sahut Sari riang
seraya mengambil bungkusan nasi dari genggamanku. Sorot mata polosnya membuatku
malu karena belum bisa memberikan segala sesuatu yang terbaik untuknya.
“Mbak, emak kemana ya kok sampai sekarang belum
pulang?” tanya Sari sambil melahap makanannya.
“Mungkin emak sekarang lagi kerja di Jakarta, mau
mencari uang yang banyak supaya bulan depan Sari bisa sekolah,” jawabku risau.
Karena sebenarnya sampai saat ini aku tidak tahu kemana emak pergi semenjak
bapak meninggal. Hampir saja aku meneteskan air mata didepan adikku.
****
Cuaca pagi ini tidak sebaik biasanya. Sinar mentari
yang seharusnya panas menyengat, digantikan dengan hawa dingin menusuk kulit.
Langit gelapnya menutupi keperkasaan sang raja siang. Perutku berbunyi nyaring.
Saat ini aku sama sekali tidak mempunyai uang. Aku menatap adikku yang masih tertidur pulas yang
beralaskan Koran bekas. Untung aku masih mempunyai tempat tinggal, walaupun
hanya terbuat dari bambu. Paling tidak aku dan adikku tidak kehujanan dan
kepanasan. Aku harus bekerja dan mencari makanan untuk Sari agar saat nanti
ketika dia terbangun, dia tidak kelaparan.
“Sari, mbak jualan dulu ya. Doakan mbak supaya barang
dagangannya laris,” bisikku di telinganya.
Aku berjalan menyusuri ruko-ruko yang masih tutup, berharap
barang asonganku ini habis terjual. Sepertinya pada pagi hari ini orang-orang masih
tertidur lelap di kasur empuk mereka. Jalanan yang ku lewati tampak
lengang.Terminal yang ku tuju pun tampak sepi. Bis-bis masih banyak yang kosong.
Aku duduk di telotoar terminal, berusaha menghilangkan penat setelah berjalan
cukup jauh dari rumah ke terminal seraya menunggu pembeli.
“Permen, tissunya mas. Rokok juga ada,” teriakku
ketika seorang lelaki lewat didepanku.
“Rini, kamu tidak sekolah?” tanya pak Toto menghampiriku.
Dia adalah supir bis yang setiap hari mengizinkanku untuk berjualan di bisnya.
“Tidak pak. Kan saya sudah berhenti sekolah dari
minggu lalu.”
“Kenapa?”
“Tidak ada biayanya pak.”
“Emakmu sudah pulang?”
“Belum. Saya tak tahu emak akan pulang atau tidak.”
“Ini ada sedikit makanan buat mu dan adikmu. Sana
pulang antarkan ke adikmu.”
“Wah, terima kasih banyak pak.”
Akupun berlari menuju rumah mengantarkan tiga potong
pisang goreng dan dua bungkus roti. Laju lariku tidak terlalu cepat karena
barang daganganku harus aku jaga agar susunannya tidak berantakan. Aku berlari
menembus rintik hujan yang turun serta angin dingin yang menusuk. Akhirnya pagi
ini aku mendapatkan makanan untuk adikku. Aku tidak mau jika Sari lapar. Lebih
baik aku puasa terus menerus asal adik kecilku yang baru berumur 6 tahun itu
tidak kelaparan. Hanya dia yang aku miliki di dunia yang keras ini.
Saat aku berlari di pinggir jalan raya, sebuah mobil
menyerempetku sampai terjatuh. Aku melepaskan pisang goreng dan roti dari
genggamanku. Aku jatuh ke kubangan air. Barang daganganku pun ikut basah. Aku
masih belum bisa percaya terhadap semua yang aku alami. Aku menjatuhkan makanan
untuk adikku dan barang daganganku basah. Dengan serta merta aku berteriak
murka kepada orang yang telah menyerempetku. Namun mobil itu malah berjalan
terus tanpa memperdulikanku. Aku memaki diriku sendiri yang begitu bodoh bisa
melepaskan makanan untuk adikku. Kehidupan ini memang tidak cukup adil bagiku.
Namun aku masih merasa bersyukur karena paling tidak aku tidak hidup sendiri.
Tapi kini apa yang terjadi? Ternyata kehidupan ini memang benar-benar tidak
adil. Aku sudah ditakdirkan miskin dari kecil, namun mengapa harus banyak
kekecewaan lain lagi yang harus aku dapatkan.
Aku menatap barang daganganku yang basah dan pisang
goreng beserta roti yang terendam dalam genangan air. Aku ingin berteriak
merobek jiwa orang yang telah menyerempetku. Aku ingin hidup layak, bukan
seperti ini. Aku ingin adikku makan! Tapi apa daya, aku hanya terpaku melihat
barang-barang tak berguna didepanku. Aku hanya bisa menangisi takdir yang sulit
untuk ku ubah. Lelehan pilu membasahi pipiku bersama dengan hujan. Mungkin
kesuraman hidupku akan segelap awan yang tidak mengizinkan mentari
menerobosnya.
Aku mengambil barang daganganku yang basah kuyub.
Kemudian berjalan gontai menuju rumah. Perih rasanya jika nanti harus melihat
adikku yang kelaparan sama seperti aku. Aku berusaha kuat, dan bagaimanapun
caranya aku harus mendapatkan makanan untuk adikku. Sesampainya didepan rumah,
aku melihat pintu rumah telah terbuka. Mungkin Sari telah bangun dan sekarang
sedang meringik kelaparan karena semalam dia tidak makan. Dengan perlahan aku
menuju rumah. Saat aku berada di ambang pintu, aku melihat seoranng perempuan
dengan pakaian rapih sedang memeluk Sari. Aku masuk perlahan dan perempuan
itupun menoleh. Aku tak menyangka ternyata dia adalah emak. Perasaan yang
bercampur aduk menyelimutiku. Sudah dua bulan dia membiarkan aku dan Sari
terlantar mencari makan sendiri. Tapi aku rindu akan sosok seorang ibu yang
biasa mengurusku.
Tangisan emak pecah dan dengan segera memeluk serta meminta
maaf kepadaku. Ternyata benar seperti apa yang aku sampaikan kepada Sari bahwa
emak selama ini bekerja di Jakarta mencari uang untuk kami. Aku tak tahu harus
berbuat apa. Perasaanku kacau, sehingga air mataku ikut mengalir dengan deras.
Hanya satu yang bisa ku pikirkan, semoga tangisan ini adalah tangisan terakhir
yang dapat menghentikan segala kesedihan. Sama seperti hujan yang turun dengan
deras dan diiringi sambaran petir, namun kemudian munculah tujuh spectrum warna
pelangi yang indah menghapus segala duka.
No comments:
Post a Comment