“Sudah tutup saja matamu.
Kerjakan apa yang bisa kamu kerjakan!” teriaknya. Sontak aku pun terdiam. Mana mungkin
aku bisa mengerjakan sesuatu tanpa melihat. Jelas-jelas mereka terlihat didepan
mataku.
Sekali lagi dia berbisik dengan suara yang
tegas, “lantas, mau apa kau kalau memang begitu adanya?” Aku kembali terhenyak
berusaha memalingkan mukaku dan mencoba menenangkan diri. Sekali lagi aku
memaki dalam hati akan perjumpaanku dengannya kembali. Aku pun melangkah
perlahan mencoba menjauh darinya. Namun, semakin aku jauh melangkah
bayangan-bayangan itu seakan sering terlihat didepan mata. Melihat itu
membuatku semakin sakit dan ingin menjerit.
“Sudah ku bilang, tutup saja
matamu! Atau kau akan sakit dan bertambah sakit saat kau sekin sering melihat
itu semua,” kali ini ia berujar dengan nada rendah. Raut wajahnya kali ini
berganti menjadi lesu dan prihatin akan kondisiku saat ini. Seraya menghela
napas aku pun kembali memalingkan wajahku kearah lain.
Jujur, aku sudah terlalu bosan
mendapat nasehat darinya. Memang bukan bermaksud jahat, namun tetap saja aku
jenuh akan kata-katanya yang seolah memaksaku untuk terus memejamkan mata. Lalu
untuk apa kedua mataku ini bila aku harus terpejam terus menerus. Ya, memang
sering kali aku merasa tersakiti dengan pandanganku yang terus tertuju kea rah mereka.
Namun tetap saja banyak hal indah sebenarnya yang dapat aku ambil dan menjadi
pelajaran bagi diri sendiri.
Sedikit oleng, aku pun memutuskan
untuk beristirahat sejenak sebelum melanjutkan perjalanan panjang ku ini. Tanpa
disuruh, ia duduk disebelahku sambil bersenandung tentang lampau. Tanpa
disangka, mereka kembali menari di depan mataku. Tarian mereka indah, namun
menyakitkan karena aku masih sulit untuk mengikutinya. Dan ia kembali
berbisaik, “masihkan kau mau menyakiti kedua matamu dengan terus memandangi
mereka?”
“Ya, mataku memang terasa sakit
saat melihat mereka. Karena mereka terlampau jauh dan tinggi. Tarian mereka pun
terlampau indah hingga aku sedikit kesulitan untuk megikutinya. Namun, aku
masih terus berharap dan optimis dapat beranjak dari tempat ini untuk
meninggalkan mu. Karena kamu yang menyebabkan cahaya ini redup dan padam!”
teriakku.
Sontak aku pun berlari menjauh
darinya. Menelusuri hutan dan meninggalkan bayang-bayang semu itu. Aku terus berlari
agar aku kembali mendapatkan cahaya, agar mataku tetap terbuka dan dapat menelusuri bagian
lain dari dunia.
No comments:
Post a Comment