Friday, June 15, 2012

Bertahan hidup di Pacar Keling

 
Belakangan ini sang penguasa siang tak pernah absen menjalankan tugasnya. Sama seperti hari ini. Dibalut oleh paparan sinarnya yang terang benderang, aku duduk di kawasan kampus UNAIR. Bukan karena sudah bosan dengan kondisi kampus sendiri yang sudah setip hari di jamah, namun ada suatu hal yang menyebabkan saya berada disana. Pembinaan kali ini berbeda dengan pembinaan sebelumnya. Selain karena denda yang diberikan bila terlambat konfirmasi kedatangan, pendamping juga menyiapkan sesuatu yang tidak biasa dalam materi managemen konflik.

Awalnya saya sama sekali tidak mengerti maksud dari pendamping. Tiba-tiba saja kami naik angkot tanpa tujuan yang jelas yang sebelumnya telah dibagi menjadi beberapa kelompok. Satu kelompok terdiri dari tiga sampai empat orang. Dengan hanya berbekal uang sebesar lima belas ribu, kami diajak ke suatu tempat yang sebenarnya tidak asing bagi saya. Karena saya juga sempat nyasar hingga tempat tersebut (lagi-lagi nyasar). Ya, pacar keling. Tempat tersebut tetap terlihat padat walaupun matahari bersinar dengan teriknya. Hiruk pikuk menyelimuti pasar tersebut. Salah satu penyebabnya mungkin adalah toko sepatu yang ada di pinggir jalan meberikan diskon hingga lima puluh persen.

Setelah diberitahu bahwa kami memiliki misi mencari produk makanan yang berbahan dasar lele serta kembali ke UNAIR namun dengan membawa uang sebesar sepuluh ribu. Untungnya saya ditemani oleh dua orangyang berbakat. Satu teman saya dari kedokteran hewan UNAIR (sebut saja melati) yang dapat ‘menjual diri’ dengan omongannya (karena orangnya cukup banyak berbicara karena emang biasa jualan, hehe). Serta satu orang lagi mahasiswa Jurusan Teknik Perkapalan ITS (bisa dipanggil raja) yang sudah siap untuk ‘dieksploitasi’ agar kami bisa mendapatkan uang. Kalau saya sendiri hanya bisa pasrah dan membantu mereka lewat doa serta memasarkan mereka (-_-v).

Mulanya kami langsung menuju ke toko yang mengolah makanan berbahan dasar lele. Teman saya melati mengusulkan untuk ke tempat makan pecel Lele Lela. Dengan penuh percaya diri dan strategi yang matang kami melangkahkan kaki menuju tempat terbut. Sesampainya di depan toko kami ragu untuk masuk, karena bingung akan bertanya apa. Mungkin penjaga toko  yang melihat kami menyangka kalau kami akan ngamen atau mau makan tapi tidak punya uang (memang benar) didepan toko mereka. Namun dengan kemantapan hati yang tinggi, layaknya trio kwek-kwek yang akan manggung akhirnya kami menemui manager tempat tersebut.

Setelah perkenalan diri kami langsung saja berdiskusi tentang pemasaran yang dilakukan sehingga tempat makan tersebut bisa laris dan membuka cabang dimana-mana. Padahal dengan bahan baku Lele yang biasanya hanya dimakan oleh orang-orang kelas bawah karena image Lele yang biasanya di kali dan makan kotoran manusia. Namun kedai makanan itu mampu merubah citra lele sehingga dapat diterima di orang-orang kalangan menengah ke atas.

Karena penasaran, kami pun mulai menyanyakan sejarah terbentuknya kedai tersebut. Tapi karena memang mereka hanya membeli nama dan resep masakan, jadi manager yang kami temui tidak mengetahui sejarah terbentuknya pecel lele tersebut. Kami malah disuruh membeli buku sejarah tempat tersebut terbentuk. Mungkin toko tersebut perlu mengkader setiap orang yang akan bekerjasama membeli nama produk tersebut agar bukan hanya keuntungan finasial yang didapat, tapi rasa memiliki yang tinggi. Karena itulah makna dari pengkaderan sesungguhnya.

Setelah misi pertama selesai, layaknya agen rahasia kami pun beranjak menjalankan misi selanjutnya. Kami pergi mengelilingi pasar hingga tiba di sebuah tempat makan soto Lamongan. Dengan kepercayaan diri tinggi dan rasa malu yang kurang kami menawarkan diri untuk bekerja apa saja di tempat makan tersebut. jurus-jurus rayuan perpaduan antara ilmu kedokteran dan ilmu material pun kami padukan. Karena ibu itu tidak tega dengan kami yang tidak bisa pulang akhirnya ibu yang baik hati tersebut mempersilahkan kami untuk bekerja. 

Namun naasnya teman kami, Raja belum mendapatkan pekerjaaan. Ia pun memasang muka melas, dan akhirnya kami memasarkan dirinya di toko-toko. Mungkin memang karena ia yang tidak cocok untuk berjualan atau memang tidak ada yang mau menerima akhirnya ia berusaha mencari kerja sendiri.
Di tempat makanan tersebut Melati bekerja membantu menyuci piring soto sedangkan saya disuruh menyuci gelas minuman. Setelah bekerja mencuci piring dan gelas selama lima belas menit, kami (saya dan melati) langsung disuruh makan soto.

Ibu Ida     : Udah nak nggak usah nyuci pring lagi ayo makan. Pasti laper ya
Melati      : nggak bu nanggung ini kerjaannya
Ibu Ida    : ayo nggak apa-apa
Melati      : saya nyapu saja bu.
Ibu Ida     : kamu nggak biasa nyapu ya? Ayo deh makan dulu.
Melati      : (menghampiri saya) ayo sha makan
Ibu ridh    : nak sudah disuruh makan itu. Padahal saya juga sudah masakin kamu. Ya sudah makan soto dulu
Saya        : Nggak bu. Saya nyelesaiin nyucinya dulu. (nyuci ngebut)
Ibu Ridho : aduh makan saja sana nak. Belum makan kan?

Akhirnya saya dan Melati makan soto sambil bercakap-cakap selama setengah jam. Kemudian kami kerja kembali. Tak disangka-sangka Raja kembali dengan mukanya yang suram. Dia berdiri di depan warung soto dengan mata yang berkaca-kaca.

Ibu Ida       : itu temennya kasian banget. Udah nak sini makan dulu
Raja           : iya bu

Setelah makan raja mencuci gelasnya makan dan gelas kami. Wajahnya pun kembali sumringah setelah mendapat tolakan kerja disana-sini. Kami pun berfoto-foto dengan ibu tersebut. Saat kami hendak pulang karena waktu yang dibatasi, ibu-ibu tersebut memberikan kami uang sebesar lima puluh ribu. Kami pun terkejut dengan pemberian tersebut. kerja yang tak seberapa, dikasih makan soto, dikasih minum juga, eh kami juga dibayar dengan uang yang lumayan besar. Andai saja kerja bisa semudah itu. Kami pun berpamitan dengan ibu-ibu tersebut dengan memberikan wejangan-wejangan tentang kebersihan tempat makan yang harus dijaga dan pipa-pipa yang sebaiknya dibersihkan agar tidak berkarat.

Kami pun sampai di UNAIR kampus B dengan bangga dan mendapatkan banyak pelajaran. Dan ternyata kelompok kami lah yang mendapatkan juara satu. Dalam  satu tim diperlukan koordinasi yang baik sehingga semua tugas dapat terselesaikan dengan baik.


No comments:

Post a Comment