Ia kembali mendengar gemerisik
angin yang menerobos dahan pepohonan. Riuh rendah diiringi gema takbir
bersahut-sahutan dari satu masjid dengan masjid lainnya. Membuat matanya tertutup
sejenak merasakan dingin sekaligus kecemasan yang melanda. Dentingan jam turut
menghantarkan nyanyian pilu. Riuh rendah petasan yang menghiasi langit mengisyaratkan
kesenangan semu, membuat hati terus begidik saat mendengarnya.
Potongan hati yang telah lama
terpisah kini semakin jelas terasa. Padahal lima tahun silam, potongan hati itu
sudah menunjukkan tanda-tanda keretakkan yang begitu hebat. Untungnya jasad
masih tetap bertemu, setidaknya masih ada perekat yang membuat adanya sedikit
kenyamanan saat berkumpul bersama. Perlahan-lahan perekat itu semakin pudar
seiring berjalannya waktu. Terlebih lagi saat ia sudah terlanjur memilih
terpisah jauh. Satu persatu saling menjauhkan jasad masing-masing. Ya, hati itu
pun terpisah. Bukan sepenuhnya, namun kelihatannya jarak membuatnya semakin
merenggang. Kepercayaan lambat laun menipis, padahal harusnya itu menjadi
pondasi utama.
Ya rindu, terlampau rindu untuk
kembali bersama. Tertawa bersama, berkumpul bersama, dimarahi bersama dan
semuanya serba bersama. Ah waktu memang membuat semuanya berubah menyisakan
guratan yang sulit ditebak. Uniknya harapan itu tetap tertanam, agar dapat
kembali berkumpul bersama. Walaupun telah banyak potongan hati yang tersakiti, toh
masih ada Al-Quran yang dapat menjadi penawar hati. Semoga Allah dapat
membukakan hati-hati itu agar harapan akan kebersamaan masih tetap ada dan
terwujud pada akhirnya.
“Dan Kami
turunkan dari Al Quran suatu yang menjadi penawar dan rahmat bagi orang-orang
yang beriman dan Al Quran itu tidaklah menambah kepada orang-orang yang zalim
selain kerugian.” (QS Al Isra, ayat 82)
No comments:
Post a Comment