“Sahurr… Sahurr…”
Sedikit membuka mata dan kembali
bergeliat dikasur. Setelah lima menit mengerjap-ngerjapkan mata, suara
anak-anak yang membangunkan sahur pun semakin samar. Segera aku pun melirik jam
yang bentuknya sudah tidak utuh bulat di dinding kamar. Tepat pukul setengah
tiga pagi. Walalupun masih sedikit malas untuk bangun, aku pun segera menuju
kamar mandi. Melirik kasur sebelah Sahffi pun masih memejamkan mata.
Saat membuka pintu kamar, lantunan
ayat suci Al Quran terdengar jernih dari pintu kamar ujung. Setelah mengambil
air wudhu dan melaksanakan qiyamul lail, satu persatu penghuni kamar pun bangun
dan mengantri kamar mandi.
“Ayoo sahurr, Nanaaaa… Nanaa….,”
pekikku di depan pintu kamar Nana.
Segera aku pun membuka ember
ajaib ku dan mengeluarkan beberapa penganan. Menu pagi ini mie telur. Sudah
tiga hari yang lalu terakhir aku makan mie. Benar-benar waktu yang cukup lama,
sehingga pagi ini aku pun kembali merinduka menu tersebut. Dengan sumringah aku
pun memasak mie dan menyiapkan nasi di piring. Susu cokelat hangat pun telah
aku persiapkan. Filza, Shaffi, Shaffi, dan Qom-Qom pun segera bergabung di
ruang tengah. Sayangnya saat puasa tahun ini mbak Dessy sedang kerja praktek,
sehingga harus menginap di Gresik. Mmmh ada yang kurang. Satu personel asrama
lagi masih belum bangun.
“Nanaaa… Nanaaa, kamu gak makan
sahur??” teriakku kembali di depan kamar Nana. Dengan sedikit mengerjap-ngerjapkan mata seraya menggeliat malas Nana pun mulai sadarkan diri.
Kembali kau pun ke ruang tengah dan menikmati santapan mie telurku dengan
menggebu-gebu.
“Nana, kamu ndak makan?? Mienya
enak lhoooo,” bujukku.
“Ndak Sha. Aku minum susu aja,
males makan,” komentar Nana seraya menyeduh susu.
“ Nanaaaaaaa,
nanti kamu kurusssss.. Harus makaan.”
Sedikit acuh tak acuh Nana pun
diam dan melanjutkan sahur dengan segelas susu dan air putih. Sayangnya ia
hanya malas makan saat sahur. Semua pun sibuk dengan makanan sahur
masing-masing. Dan seperti biasa aku berhasil menghabiskan makanan terlebih
dahulu.
“Mar, kenyang nih. Mau nambah
nasi lagi nggak?,,” bujuk mbak Immash. Aku pun membalas dengan tatapan gue mau kurus, jangan hasut gue.
Melihatku yang ogah-ogahan makan lagi, mbak Immash pu kembali mengeluarkan
jurus tipu rayu.
“Ayo lah Mar. Kasian nih kalau
gak dimakan. Nanti nasinya nangis, ikannya enak lho. Dari pada gak kemakan dan
mubazir mending diabisin sekarang Maaar,” imbuh mbak Imm seraya menyodorkan
makannya.
“Iya Sha. Nanti makanannya
nangis. Itu Cuma dikit kok, gak bikin gendut,” ujar Filza mengompori. Melihat
hal tersebut, Shaffi dan Qom-qom ikut memberikan semangat. Karena tak sanggup
melihat makanan yang dibuang, aku pun meraih piring yang disodorkan. H-10 menit
imsak, semua makanan pun habis.
Lain lagi ketika waktu berbuka
tiba. Saat itu aku berada di ruang tengah dengan kasur kesayanganku dan laptop
yang menyala. Sesekali aku melirik jam dinding yang masih menunjukkan pukul
lima sore. Walaupun begitu segelas es teh dan agar-agar buatan Filza telah
tertata rapi di meja. Tak lupa gorengan, nasi, dan lauk pauknya. H-15 menit
berbuka puasa, Nana pun tiba dengan helm yang masih menempel dikepala serta
beberapa kantong hitam ditangannya.
“Aku beli es buah lhooo. Ada yang
mauuu?? Ini aku juga beli pisang keju sama sego njamur,” teriak Nana heboh saat
memasuki asrama. Sontak aku pun tersenyum-senyum melihatnya pulang.
“Asiiiiiik… Sini Naa kita tunggu
buka,” sambutku.
Usai adzan magrib berkumandang,
segera penghuni asrama berkumpul di ruang tengah. Sambil menikmati hidangan
yang sengaja disediakan, mbak Imm pun sontak mengingatkan.
“Jangan makan dulu! Ayo magriban…”
teriaknya. Sambil saling lirik melirik, aku dan Nana pun enggan beranjak
mengambil air wudhu.
“Mbak nanggung nih, sayang
makannya menanti kita,” bujukku.
“Iya mbak, bentar ya. Lima menit
lagi deh,” imbuh Nana.
“Gek endanggggggg,” seru mbak Imm
sambil menarik napas panjang. Sontak kami pun segera membereskan makanan yang
berserakan kedalam perut masing-masing.
Usai magriban, kami pun menemani
penghuni asrama yang melanjutkan ritual berbuka puasa. Dengan perut yang penuh
aku dan Nana pun hanya duduk-duduk seraya menceritakan kejadian hari ini.
Setelah sepuluh menit dari luar pun sayup-sayup terdengar dentingan mangkok
diirigi sahutan ‘bakso-bakso’. Seperti mengerti jalan pikiran satu sama lain,
aku pun segera melongok ke luar jendela.
“Nanaaaaa, kamu mau bakso
nggaaaak?”
“Kenyang
Sha. Eh gak papa deh, semangkok berdua yaaa???”
Begitulah
secuplik kisah Ramadhan 1434 H lalu. Sungguh berbeda dengan saat ini. Sahur,
buka puasa, hingga ibadah tarawih pun sendiri. Namun bagaimana pun keadaannya
pasti ada makna tersendiri dan tetap maksimal dalam beribadah. Entah tahun
depan akan seperti apa. Semoga tetap dapat menikmati bulan Ramadhan dengan
warna yang berbeda dan jauh lebih indah.
No comments:
Post a Comment