Thursday, July 3, 2014

Ramadhan Tahun Lalu (1434 H)



“Sahurr… Sahurr…”

Sedikit membuka mata dan kembali bergeliat dikasur. Setelah lima menit mengerjap-ngerjapkan mata, suara anak-anak yang membangunkan sahur pun semakin samar. Segera aku pun melirik jam yang bentuknya sudah tidak utuh bulat di dinding kamar. Tepat pukul setengah tiga pagi. Walalupun masih sedikit malas untuk bangun, aku pun segera menuju kamar mandi. Melirik kasur sebelah Sahffi pun masih memejamkan mata.

Saat membuka pintu kamar, lantunan ayat suci Al Quran terdengar jernih dari pintu kamar ujung. Setelah mengambil air wudhu dan melaksanakan qiyamul lail, satu persatu penghuni kamar pun bangun dan mengantri kamar mandi.

“Ayoo sahurr, Nanaaaa… Nanaa….,” pekikku di depan pintu kamar Nana.

Segera aku pun membuka ember ajaib ku dan mengeluarkan beberapa penganan. Menu pagi ini mie telur. Sudah tiga hari yang lalu terakhir aku makan mie. Benar-benar waktu yang cukup lama, sehingga pagi ini aku pun kembali merinduka menu tersebut. Dengan sumringah aku pun memasak mie dan menyiapkan nasi di piring. Susu cokelat hangat pun telah aku persiapkan. Filza, Shaffi, Shaffi, dan Qom-Qom pun segera bergabung di ruang tengah. Sayangnya saat puasa tahun ini mbak Dessy sedang kerja praktek, sehingga harus menginap di Gresik. Mmmh ada yang kurang. Satu personel asrama lagi masih belum bangun.

“Nanaaa… Nanaaa, kamu gak makan sahur??” teriakku kembali di depan kamar Nana. Dengan sedikit mengerjap-ngerjapkan mata seraya menggeliat malas Nana pun mulai sadarkan diri. Kembali kau pun ke ruang tengah dan menikmati santapan mie telurku dengan menggebu-gebu.

“Nana, kamu ndak makan?? Mienya enak lhoooo,” bujukku.

“Ndak Sha. Aku minum susu aja, males makan,” komentar Nana seraya menyeduh susu.

“ Nanaaaaaaa, nanti kamu kurusssss.. Harus makaan.”

Sedikit acuh tak acuh Nana pun diam dan melanjutkan sahur dengan segelas susu dan air putih. Sayangnya ia hanya malas makan saat sahur. Semua pun sibuk dengan makanan sahur masing-masing. Dan seperti biasa aku berhasil menghabiskan makanan terlebih dahulu.

“Mar, kenyang nih. Mau nambah nasi lagi nggak?,,” bujuk mbak Immash. Aku pun membalas dengan tatapan gue mau kurus, jangan hasut gue. Melihatku yang ogah-ogahan makan lagi, mbak Immash pu kembali mengeluarkan jurus tipu rayu.

“Ayo lah Mar. Kasian nih kalau gak dimakan. Nanti nasinya nangis, ikannya enak lho. Dari pada gak kemakan dan mubazir mending diabisin sekarang Maaar,” imbuh mbak Imm seraya menyodorkan makannya.

“Iya Sha. Nanti makanannya nangis. Itu Cuma dikit kok, gak bikin gendut,” ujar Filza mengompori. Melihat hal tersebut, Shaffi dan Qom-qom ikut memberikan semangat. Karena tak sanggup melihat makanan yang dibuang, aku pun meraih piring yang disodorkan. H-10 menit imsak, semua makanan pun habis.

Lain lagi ketika waktu berbuka tiba. Saat itu aku berada di ruang tengah dengan kasur kesayanganku dan laptop yang menyala. Sesekali aku melirik jam dinding yang masih menunjukkan pukul lima sore. Walaupun begitu segelas es teh dan agar-agar buatan Filza telah tertata rapi di meja. Tak lupa gorengan, nasi, dan lauk pauknya. H-15 menit berbuka puasa, Nana pun tiba dengan helm yang masih menempel dikepala serta beberapa kantong hitam ditangannya.

“Aku beli es buah lhooo. Ada yang mauuu?? Ini aku juga beli pisang keju sama sego njamur,” teriak Nana heboh saat memasuki asrama. Sontak aku pun tersenyum-senyum melihatnya pulang.

“Asiiiiiik… Sini Naa kita tunggu buka,” sambutku.

Usai adzan magrib berkumandang, segera penghuni asrama berkumpul di ruang tengah. Sambil menikmati hidangan yang sengaja disediakan, mbak Imm pun sontak mengingatkan.

“Jangan makan dulu! Ayo magriban…” teriaknya. Sambil saling lirik melirik, aku dan Nana pun enggan beranjak mengambil air wudhu.

“Mbak nanggung nih, sayang makannya menanti kita,” bujukku.

“Iya mbak, bentar ya. Lima menit lagi deh,” imbuh Nana.

“Gek endanggggggg,” seru mbak Imm sambil menarik napas panjang. Sontak kami pun segera membereskan makanan yang berserakan kedalam perut masing-masing.

Usai magriban, kami pun menemani penghuni asrama yang melanjutkan ritual berbuka puasa. Dengan perut yang penuh aku dan Nana pun hanya duduk-duduk seraya menceritakan kejadian hari ini. Setelah sepuluh menit dari luar pun sayup-sayup terdengar dentingan mangkok diirigi sahutan ‘bakso-bakso’. Seperti mengerti jalan pikiran satu sama lain, aku pun segera melongok ke luar jendela.

“Nanaaaaa, kamu mau bakso nggaaaak?”

“Kenyang Sha. Eh gak papa deh, semangkok berdua yaaa???”

Begitulah secuplik kisah Ramadhan 1434 H lalu. Sungguh berbeda dengan saat ini. Sahur, buka puasa, hingga ibadah tarawih pun sendiri. Namun bagaimana pun keadaannya pasti ada makna tersendiri dan tetap maksimal dalam beribadah. Entah tahun depan akan seperti apa. Semoga tetap dapat menikmati bulan Ramadhan dengan warna yang berbeda dan jauh lebih indah.

No comments:

Post a Comment